JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, ketidakpastian pekerja dengan sistem kontrak, termasuk outsourcing, telah melanggar konstitusi. Putusan ini dinilai memberi dampak positif pada pemenuhan hak-hak buruh.
Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.Permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan ini diajukan oleh Didik Suprijadi yang mewakili lembaga swadaya masyarakat (LSM) Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI). Oleh MK, aturan untuk pekerja outsourcing (penyedia jasa pekerjaan) dalam UU tersebut,yaitu Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b dianggap inkonstitusional jika tidak menjamin hakhak pekerja.
”Aturan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja atau buruh yang objek kerjanya tetap ada walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh,” kata Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusan di Jakarta.
Mahkamah berpendapat pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi konstitusi.Karena itu, mahkamah memastikan aturan tersebut bisa menjamin adanya hubungan kerja yang melindungi hak-hak pekerja dan model outsourcing tidak disalahgunakan perusahaan.
Mahkamah menilai posisi buruh outsourcing dalam hubungannya dengan perusahaan menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerja dilakukan berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Perjanjian kerja ini memberi implikasi jika hubungan pemberian kerja antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan outsourcing habis, habis pula masa kerja buruh.
Buruh juga mengalami ketidapastian masa kerja karena tidak diperhitungkan secara jelas akibat sering bergantinya perusahaan penyedia jasa outsourcing. Dampaknya adalah hilangnya kesempatan pekerjaoutsourcing untuk memperoleh pendapatan, tunjangan yang sesuai dengan masa kerja dan pengabdiannya.
”Ini karena UU Ketenagakerjaan tidak memberi jaminan kepastian bagi pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan bagi pekerja,”ujar hakim konstitusi Achmad Sodiki.
Mahkamah kemudian menentukan dua model bentuk perlindungan hak-hak pekerja, yaitu mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Kedua,menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis. Sementara model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan.
Guru besar hukum perburuhan Universitas Indonesia Prof Aloysius Uwiyono mengatakan pada dasarnya isi UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan menyimpang dari UUD 1945. UU tersebut menciptakan ketidakpastian hukum, berparadigma konflik, dan memosisikan pekerja sebagai manusia upahan, bukan mitra pengusaha. Putusan MK ini menurutnya memberi dampak positif pada pemenuhan hak-hak normatif buruh.
Putusan ini juga bisa mengakhiri inkonsistensi di Pasal 1 butir (15) yang berbunyi, ”Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja yang punya unsur pekerjaan, upah, dan perintah,”dengan Pasal 66 ayat (2a) yang menyatakan penyedia jasa pekerja harus mempunyai hubungan pekerja/buruh”.
”Adanya pekerja kalau ada pekerjaan upah dan ada perintah.Ini melekat pada perusahaan yang punya hubungan dengan pekerja,”ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar