JAKARTA - Rencana Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif (Kemenparekraf) mengeluarkan bioskop dari daftar negatif investas (DNI) disorot oleh kalangan DPR.
Seperti diungkapkan anggota Komisi X DPR Nurul Qomar, dari Fraksi Partai Demokrat, sebagai pihak yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan, dia mempertanyakan kebijakan pemerintah tersebut. Menurut Qomar, dirinya akan mengonfirmasi rencana tersebut kepada menteri yang berasal dari partainya terkait rencana untuk mengeluarkan bioskop dari DNI.
”Saya berharap, semua pihak memberikan masukan mengenai pengaruh negatif masuknya bioskop asing,” kata Qomar di Jakarta.
Masalahnya, Indonesia saat ini telah menjadi incaran negara-negara asing seperti Korea, untuk dijajah dengan produk-produk yang dihasilkan. Aneka strategi pun dijalankan. Mulai dari strategi pembuka jalan hingga strategi pencitraan untuk memperkokoh posisi produk Korea di Indonesia.
Strategi pembuka jalan dilakukan dengan melakukan investasi di berbagai bidang usaha.
Sementara industri kreatif seperti musik atau film digunakan untuk memperkenalkan atau memperkuat penerimaan masyarakat di sebuah negara seperti Indonesia terhadap produk-produk Korea. Bagaimana langkah Korea untuk menjajah negara lain dengan produk-produknya melalui seni dan budaya, bisa dilihat dari langkah-langkah yang dilakukan oleh Lotte Group, yang ingin merambah bisnis bioskop setelah sukses dengan Lotte Mart-nya.
Industri kreatif Korea memang tidak tumbuh dengan sendirinya, karena selama lebih kurang 20 tahun, pemerintah Korea telah aktif mengembangkannya. Salah satunya melalui beasiswa di bidang musik atau film bagi warga Korea, untuk belajar di Amerika atau Eropa. Atas upaya tersebut Pemerintah Korea pun menuai hasil. Sejumlah musisi maupun sineas Korea mampu menggebrak dunia melalui karyanya. Winter Sonata, misalnya, menjadi karya sineas Korea yang banyak digemari di Indonesia.
Sementara itu, boys dan girls band pun turut digandrungi remaja Indonesia, dengan munculnya boysdan girl band ala Indonesia. Demikian juga dengan potongan rambut dan mode pakaian ala korea yang kian diminati.
Semua ini bukti bahwa industri kreatif Korea telah tumbuh dan berkembang bukan hanya di negaranya, tapi mampu menopang pertumbuhan industri Korea lainnya dengan menjadi alat promosi. Situasi tersebut sangat kontras dengan industri kreatif di Indonesia. Selain lemahnya infrastruktur, ketiadaan insentif bagi pelaku industri kreatif semakin membuat industri ini jauh dari berkembang. Bahkan produktivitas film nasional yang hanya mampu memasok 20 persen saja dari kebutuhan 676 layar yang ada.
Ironisnya, di tengah serbuan produk dan budaya Korea tersebut, pemerintah justru berencana mengeluarkan bioskop dari DNI. Padahal bioskop, seperti diakui oleh bos Maxima Pictures Oldy Mulya, bukan sekedar etalase untuk menjajakan film melainkan celah untuk memperkenalkan budaya si pembuat film. Kehadiran bioskop asing jelas bukan solusi untuk mengembangkan industri kreatif Indonesia terutama di bidang film.
0 komentar:
Posting Komentar