Milan - AC Milan dan Inter Milan, kedua penghuni kota mode di bagian utara Italia itu sudah sangat lama menjadi rival. Tapi rival bukan berarti perang saudara. Bukan berarti juga saling membenci.
Warna pertentangan dari Milan dan Inter, sebenarnya, bahkan sudah terlihat dari warna kostum mereka sendiri. Milan diwakili oleh warna merah, sementara Inter oleh warna biru. Yang satu punya kesan lebih menyala, sementara yang lainnya punya kesan lebih teduh. Hanya warna hitam yang kemudian menjadi persamaan keduanya. Warna tegas, kelam, yang kemudian tampak menjadi batas rivalitas dari keduanya.
Tapi, rivalitas Milan dan Inter terbilang indah. Hampir seindah kotanya sendiri. Indah apa adanya seperti yang terjadi di atas lapangan. Kalaupun ada letupan-letupan kecil di atas lapangan rumput itu, maka itu adalah hal yang biasa terjadi--atau lugasnya bisa dibilang, "Namanya juga (pertandingan) sepakbola."
Indah juga lantaran tanpa dicampuradukkan dengan bumbu-bumbu lain seperti politik, sosial, atau agama. Beda misalnya dengan derby di kota Roma dan Glasgow (Skotlandia), atau seperti rivalitas El Clasico di Spanyol, yang kerap membuat tensi pertandingan melebar sampai ke luar stadion. Panasnya El Clasicobahkan sempat membuat Vicente del Bosque pusing. Pelatih tim nasional Spanyol itu khawatir rivalitas pemain dari Real Madrid dan Barcelona sampai memecah kebersamaan La Furia Roja.
Okelah, suatu waktu derby ini pernah dikait-katikan dengan urusan politik. Inter secara tradisi sempat dianggap representasi kalangan konservatif yang didukung oleh orang-orang kaya di kota ini. Pemilik yang sekarang yang juga Raja Minyak Italia, Massimo Moratti, merupakan orang kiri dalam peta politik domestik yang pernah dicalonkan sebagai walikota Milan oleh aliansi partai-partai berhaluan tengah-kiri.
Milan sebaliknya. Klub ini pernah diidentikkan sebagai tim kelas pekerja yang didukung oleh semacam serikat-serikat buruh. "Si Tuan Besar" Silvio Berlusconi adalah konglomerat media yang juga pemimpin Forza Italia, partai oposisi beraliran tengah-kanan. Tifosi Milan tentu pernah amat bangga melihat patronnya itu dulu menjabat perdana menteri Italia.
Akan tetapi perbedaan politik di atas sudah basi sekitar lebih dari satu dekade lalu. Yang ada saat ini ya tinggal urusan sepakbola. Derby Milan adalah soal prestise--biasanya lebih dari sekadar urusan tiga angka--tentang sentakan cinta domestik warga kota ini. Jangan heran kalau sampai beberapa jam sebelum kedua tim ini berlaga pun para Milanisti dan Interisti masih sempat-sempatnya minum bareng di bar atau kafe yang sama dan saling berkelakar akrab.
"Kami tidak suka satu sama lain, tapi mungkin kami berdua lebih membenci Juventus," tutur seorang fans Inter pada suatu waktu, sebelum derby di tahun 2007. "Memang ada ejekan atau lelucon di antara kami, tapi tetap ada batasnya. Kami toh tinggal di jalanan yang sama, bekerja di tempat yang sama, dan bepergian dengan metro yang sama. Kadang-kadang terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tapi itu jarang."
Pernahkah terjadi insiden dalam sebuah pertandingan antara Milan dan Inter? Pada tahun 2005, pada sebuah pertandingan perempatfinal Liga Champions, Dida pernah mendapatkan lemparan mercon. Namun kekesalan yang dirasakan fans Milan karena pemain kesayangannya dilukai, dan dongkolnya tifosi Inter karena timnya tersingkir, tak berlanjut di luar lapangan. Tak ada laporan soal kerusuhan suporter usai laga yang akhirnya dihentikan di menit 74 itu.
Pekan ini, Milan dan Inter akan kembali bersua di sebuah stadion. Rumah tempat mereka saling berbagi kandang. Milan menyebutnya San Siro, sementara Inter menamainya Giuseppe Meazza--diambil dari nama seorang pemain yang pernah memperkuat kedua klub. Tak ada percikan panas. Di stadion megah berkapasitas 85.700 penonton ini magis sepakbola betul-betul dirasakan pengunjungnya. Nyala kembang api, gemuruh teriakan suporter, warna-warni dari aneka kostum dan produk: Well, apalagi yang lebih indah dari suasana seperti itu?
0 komentar:
Posting Komentar