Jakarta - Saat ini pemerintah berencana menaikkan harga BBM subsidi Rp 1.500 menjadi Rp 6.000 per liter karena 70% subsidi dinikmati orang mampu. Tapi ada cara yang lebih benar sehingga orang miskin tidak ikut kena dampaknya.
Ekonom Dradjad Wibowo menyatakan ada cara mencabut subsidi dari kaum menengah atas, tanpa menyakiti kaum miskin. Caranya melalui sebuah pungutan yang ditargetkan kepada konsumsi BBM dari kaum menengah atas. Ini adalah kenaikan harga BBM secara tidak langsung dan selektif (TLS).
"Pungutan tersebut bisa berupa pajak pusat, cukai, pajak daerah dan atau retribusi daerah. Saya memilih cukai karena sifatnya mengurangi konsumsi satu barang, yaitu BBM bersubsidi. Selain itu, penerimaan dari cukai langsung masuk ke dalam pos penerimaan APBN, sehingga bisa langsung mengurangi besaran subsidi BBM," kata Dradjad dikutip dari situs Sustainable Development Indonesia, Selasa (27/3/2012).
Dikatakan Dradjad, dari sisi Undang-Undang tentang Cukai (UU No 39 tahun 2007), BBM memang belum masuk ke dalam barang kena cukai. Namun hal ini bisa diatasi dengan pasal lex specialist dalam UU APBN-P 2012.
Lalu bagaimana mekanisme penerapan cukainya? Sederhana konsepnya. Cukai BBM ini dibayarkan sekali setahun ketika perpanjangan STNK. Tinggal diatur bagaimana teknis pembayarannya. Bisa seperti pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) atau pemerintah pusat mengatur teknis pembayaran tersendiri.
"Besaran cukai bisa dibuat flat. Ini akan lebih mudah implementasinya, tapi kurang adil karena memukul rata semua pemilik kendaraan. Oleh sebab itu, sebaiknya besaran cukai dibuat berjenjang dengan faktor konversi seperti besarnya cc kendaraan, umur, dan lain-lain," jelas Dradjad.
Sebagai contoh konkret, mari lihat bensin premium. Konsumsi premium di 2011 adalah 25,49 juta kiloliter (KL). Untuk kemudahan ilustrasi, anggap semua bensin premium dikonsumsi mobil penumpang dan motor.
Asumsikan konsumsi premium di 2012 naik 14% seperti kenaikan selama periode Januari-Februari 2012. Estimasi konsumsi bensin premium di 2012 menjadi 29,1 juta KL. Jika harga dinaikkan Rp 1.500/liter, maka didapat penghematan subsidi BBM Rp 43,7 triliun.
Sekarang kita hitung kira-kira berapa besaran cukai untuk mengganti penghematan subsidi di atas. Anggap secara kasar pemakaian bensin premium 120 liter/bulan untuk mobil penumpang, dan 17 liter/bulan untuk motor. Ini angka kira-kira saja, sekedar ilustrasi.
Total penjualan mobil dan motor baru adalah 10,1% dan 13,2% dari jumlah mobil dan motor, seperti data tahun 2011. Sehingga, estimasi jumlah mobil penumpang dan motor di 2012 menjadi 9,72 juta dan 73,6 juta. Konsumsi bensin premium menjadi 29,01 juta KL. Perbedaan dengan angka sebelumnya karena faktor pembulatan.
"Tanpa kenaikan harga premium Rp 1.500, subsidi premium yang tidak jadi dikurangi adalah 120 x 12 x Rp 1.500 = Rp 2,16 juta untuk mobil, dan Rp 306 ribu untuk motor. Besaran subsidi yang tidak jadi dikurangi ini kita jadikan baseline untuk menghitung cukai setahun," jelas Dradjad.
Jika besaran cukai rata-rata ditetapkan persis sebesar baseline, kita mendapat penerimaan cukai Rp 43,1 triliun. Angka ini relatif sama dengan penghematan melalui kenaikan harga BBM, perbedaan terjadi karena pembulatan.
Tapi dengan semangat mencabut subsidi dari orang kaya, besaran cukai rata-rata bisa kita buat Rp 3 juta untuk mobil dan Rp 150 ribu untuk motor. Penerimaan cukainya menjadi Rp 47,5 triliun.
Tentu kombinasi besaran cukai rata-rata ini bisa kita variasikan sesuai jenis, cc, umur mobil, dan sebagainya.
"Bahkan untuk mobil penumpang kelas atas, cukai BBM bisa kita buat Rp 6 juta. Ini artinya subsidi BBM dicabut 100 persen terhadap pemilik mobil kelas atas. Angka-angka di atas sekali lagi hanya bersifat ilustratif. Silakan Banggar dan Menkeu melakukan simulasi yang lebih akurat dan detil," cetus Dradjad.
Tapi apakah ada kelemahan dari pungutan seperti ini? Jelas ada. Pertama, mekanisme implementasinya sedikit lebih panjang dibanding kenaikan harga BBM secara langsung dan pukul rata (LPR). Namun demi keadilan bagi masyarakat, hal ini bukanlah isu yang harus diributkan.
Kedua, cukai ini tidak mengatasi penyelundupan BBM. Namun apakah kenaikan harga BBM berkali-kali selama beberapa tahun juga mengatasi penyelundupan? Faktanya tidak.
Ketiga, cukai juga tidak akan disukai oleh SPBU asing. Karena, selisih harga jual dengan Pertamina tetap ada. Tapi apa iya pemerintah menaikkan harga BBM untuk menolong SPBU asing?
Keempat, pemilik mobil kelas atas yang selama ini memakai BBM non-subsidi akan membayar dobel. Ini memang satu kelemahan yang perlu diatasi dengan penggunaan teknologi. Karena bon pembelian BBM non-subsidi dari SPBU mudah dipalsukan. Karena penerapan teknologi ini perlu waktu, pembayaran dobel oleh kelas atas ini tidak bisa dihindari. Hitung-hitung penebusan dosa karena saya rasa banyak kaum atas yang merendah-rendahkan pembayaran pajaknya.
Cukai BBM bisa diterapkan juga untuk solar dan pemakaian BBM oleh industri. Kelemahan administrasi pasti ada, tapi sistem perpajakan kita juga tidak bagus-bagus amat administrasinya. Namun yang jelas, cukai BBM lebih adil daripada kenaikan harga BBM secara langsung dan pukul rata. Cukai memungkinkan negara mencabut subsidi dari target-target yang spesifik, yang memang tidak layak menerima subsidi.