Seperti pada pada Kamis 17 November lalu, ratusan pelajar sudah menyerbu Bosscha sejak pagi hingga siang menjelang sore.Teropong Zeiss memang menjadi pusat perhatian karena berada di dalam bangunan megah berbentuk kubah.
Dari luar, kubah Teropong Zeiss yang berwarna putih itu memang tampak agung berdiri rumput hijau yang terawat dan di antara pohon-pohon cemara dan pinus yang teduh.
Banyak anak-anak yang ditemani guru atau event organizer (EO) sebagai pemandu sengaja berfoto dengan background Teropong Zeiss.
Salah seorang pengunjung yang tidak henti-henti menjepretkan kamera ponselnya adalah Wina Puspita (27) dan Leli Pasha (27). Mereka adalah EO yang membawa 54 anak-anak kelas 6 SD dari Bogor untuk mengunjungi observatorium yang didirikan 1923 itu.
Sebagai EO yang memfasilitasi sekolah untuk melakukan rekreasi ke tempat wisata di Bandung, mereka menempatkan Bosscha dalam daftar teratas paket wisata mereka.
Tiap tahun mereka melayani kunjungan SD tersebut ke Bosscha. Leli menyebutkan, paket kunjungan ke Bandung yang disediakan pihaknya adalah Bosscha, Saung Angklung Udjo, dan Museum Geologi. Menurutnya, setiap EO pasti memasukkan Bosscha ke dalam paket kunjungannya. “Sebagai heritage Kota Bandung, Bosscha menjadi primadona bagi sekolah,” ungkapnya.
Alasan dari pihak sekolah, Bosscha layak dikunjungi karena menyimpan pengetahuan khususnya tentang astronomi dan sejarah. Nama Observatorium Bosscha juga sudah tercetak di buku mata pelajaran di sekolah. Sehingga Bosscha layak diketahui dan dikunjungi. Soal nantinya para murid akan menggeluti astronomi atau tidak, itu soal masa depan.
Perasaan kagum juga muncul dari wajah-wajah anak SD. Ketika seorang astronom membimbing mereka menuju Teropong Zeiss, dengan suara gaduh anak-anak berlarian menuju pintu masuk ke kubah di mana di dalamnya ada teropong raksasa berdiameter 60 centimeter. Di dalamnya mereka dikenalkan sejarah teropong legendaris tersebut, sejarah berdirinya Bosscha, hingga tata cara meneropong benda-benda langit.
Bersamaan dengan kunjungan anak-anak SD itu, Bosscha juga kedatangan puluhan tamu dari salah satu SMA swasta di Bandung. Kedatangan mereka pun tidak kalah riuhnya dengan anak-anak SD. Hampir setiap siswa mengabadikan dirinya bersama bangunan kubah Teropong Zeiss. Tampaknya, minat berfoto mereka lebih besar dibandingkan dengan minat terhadap astronomi.
Ica dominika, salah seorang siswa kelas 10 di rombongan SMA itu mengaku sangat menikmati kunjungan ke Bosscha. Ica baru pertama kali mengunjungi peneropongan bintang itu. Sebelumnya dia hanya kenal Bosscha lewat buku pelajaran, bahwa Bosscha adalah observatorium terbesar di Asia Tenggara dan satu-satunya yang ada di Indonesia.
Sebelum mengunjungi langsung Bosscha, kesan pertama yang muncul di benak Ica terhadap tempat itu adalah museum. Mungkin buku pelajaran di sekolahnya yang menonjol dari Bosscha adalah bangunan kuno peninggalan Belandanya.
Setelah Ica mengunjungi langsung, ternyata Bosscha adalah tempat penelitian benda-benda astronomi seperti bintang dan bulan. Hanya saja Ica mengaku tidak tertarik mendalami ilmu astronomi. “Saya nggak berniat jadi astronom, apalagi astronot, enggak suka,” ujarnya.
Peneliti Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB) Evan I Akbar tidak memungkiri bahwa Bosscha kini adalah tempat penelitian sekaligus tempat kunjungan wisata. Hal itu terjadi sejak Bosscha diambilalih Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai lembaga riset astronomi. Kunjungan makin meningkat ketika status ITB menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) pada 1999, yang otomatis harus mandiri tanpa mengandalkan subsidi dari negara.
Bosscha awalnya hanya mengemban misi mempopulerkan ilmu astronomi kepada mayarakat. Sehingga waktu itu jumlah pengunjungnya terbatas. Sebelum 1999, jumlah kunjungan paling banyak hanya 100 orang per minggunya, itupun tidak ditarik biaya.
Kini, setelah ITB menjadi BHMN misi Bosscha bertambah karena dituntut untuk menghasilkan biaya bagi kebutuhan operasional dirinya sendiri. Bosscha pun terbuka bagi kunjungan secara umum, bukan hanya untuk kepentingan astronomi saja.
Pengunjung yang ingin berkunjung baik demi astronomi maupun sekedar wisata, dikenai tarif yang persekali masuknya Rp7.500. Sebelum berkunjung, pengunjung harus melakukan reservasi dulu untuk menentukan jadwal kunjungan dari Selasa sampai Jumat untuk kunjungan siang. Dan dalam sebulan, Bosscha juga menyediakan tiga malam untuk kunjungan malam yang dibatasi masksimal 200 orang pengunjung. “Jadi misinya sekarang mempopulerkan astronomi dan kebutuhan,” kata Evan.
Dampaknya, jumlah pengunjung Bosscha membludak. Pertahunnya mencapai 60 ribu pengunjung atau perharinya mencapai 600 pengunjung. Lonjakan pengunjung membuktikan tingginya keingintahuan masyarakat untuk datang langsung ke lokasi peneropongan bintang.
Hal itu dipicu dengan mudahnya menemukan informasi dan gambar antariksa dan benda-benda langit di internet. Keterbukaan informasi membuat orang ingin tahu langsung pusat peneropongan. “Sebenarnya sangat banyak yang reservasi, tapi banyak juga yang kita tolak,” ungkapnya.
Dengan tiket Rp7.500, pengunjung bisa memasuki tiga fasilitas di Bosscha, yakni memasuki Gedung Teleskop Zeiss untuk melihat dan melakukan demonstrasi teleskop tersebut, ruang multimedia untuk menerima penjelasan astronom sekaligus menyaksikan video astronomi, dan jika langit cerah pengunjung juga bisa memasuki Gedung Teropong Surya untuk menyaksikan aktivitas matahari.
Evan menegaskan, banyaknya kunjungan ke Bosscha bukan berarti menunjukkan tingginya mempelajari astronomi. Karena pengunjung ke Bosscha terbagi ke dalam dua golongan.
Pertama, ada yang datang murni karena ingin mengenal astronomi, kedua karena ikut travel atau EO yang memasukan Bosscha ke dalam paket kunjungan mereka. Memang, kebanyakan pengunjung Bosscha adalah anak-anak sekolah. Tetapi minat mereka terhadap astronomi dapat dilihat dari respons mereka saat menerima materi tentang astronomi, banyak yang acuh dan banyak juga yang antusias. “Jadi 50-50-lah antara ilmu dan wisata,” jelasnya.
Jika dibandingkan dengan minat dan pengetahuan astronomi di luar negeri terhadap astronomi, tentu saja para pelajar di Indonesia jauh ketinggalan. Di luar negeri ilmu astronomi sudah masuk ke dalam kurikulum SD secara tersendiri yang dikemas secara menarik.
Kepemilikan teropong pun sudah membudaya hampir di tiap rumah. Begitu juga jumlah observatoriumnya yang jauh lebih banyak dari Indonesia. Misalnya Jepang yang memiliki 40 observatorium.
Di Indonesia, pernah astronomi masuk menjadi bagian kurikulum yang berada di bawah mata pelajaran geografi yakni IPA. “Sekarang nggak tahu kurikulum itu dikemanakan,” cetus Evan.
Padahal potensi para pelajar Indonesia di bidang astronomi sangat besar. Sejak 2005 Bosscha membuka program pelatihan siswa untuk mengikuti olimpiade astronomi internasional, dan sejak saat itu tiap tahunnya para pelajar Indonesia bisa mendapat emas.
“Anak-anak kita ini pintar-pintar. Meski di sekolah enggak diajarin, hanya dilatih di sini selama tiga bulan, di luar negeri mereka bisa dapat emas,” tuturnya.